Sorbatua Siallagan: “Saya Bukan Penjahat atau Pelaku Kriminal”

filter: null; fileterIntensity: null; filterMask: null; module: remosaic; hw-remosaic: false; touch: (-1.0, -1.0); sceneMode: 2; cct_value: 0; AI_Scene: (-1, -1); aec_lux: 257.40665; aec_lux_index: 0; albedo: ; confidence: ; motionLevel: -1; weatherinfo: null; temperature: 41;
banner 468x60

Simalungun – Sorbatua Siallagan kembali hadir di Pengadilan Negeri Simalungun pada Rabu, 7 Agustus 2024, untuk membacakan Nota Pembelaan atau Pledoi terhadap dakwaan Jaksa Penuntut Umum. Di kursi biru yang menghadap Hakim Ketua, Sorbatua membela dirinya dari tuduhan pembakaran lahan dan pendudukan kawasan hutan negara serta izin konsesi PT. Toba Pulp Lestari (TPL).

 

Sebagai bagian dari Masyarakat Adat Keturunan Ompu Umbak Siallagan, Sorbatua menegaskan bahwa tuduhan tersebut tidak adil. “Di usia 65 tahun ini, saya dituduh membakar hutan dan menguasai hutan negara tanpa izin. Sejarah mencatat bahwa Komunitas Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan telah lebih dulu ada di Dolok Parmonangan. Saya tidak pernah melakukan kejahatan dan bukan pelaku kriminal,” ujar Sorbatua.

Sorbatua Siallagan membacakan Pembelaannya di Hadapan Majelis Hakim

Pada Maret lalu, Sorbatua diculik oleh delapan orang tak dikenal yang kemudian diketahui sebagai oknum Polda Sumatera Utara. Ia ditangkap atas pengaduan PT. TPL terkait aktivitas berladangnya. Jaksa Penuntut Umum menuntut Sorbatua dengan hukuman empat tahun penjara dan denda satu miliar rupiah, subsider enam bulan penjara, pada 29 Juli 2024.

Baca Juga :  Polres Simalungun Diduga Lakukan Pelanggaran HAM, Masyarakat Adat Sihaporas Lapor ke Mabes Polri dan Kompolnas

 

Dalam sidang pledoi pada 7 Agustus 2024, Sorbatua menegaskan komitmennya untuk memperjuangkan tanah adat mereka. “Saya hidup dan mati di atas tanah adat kami. Apapun yang terjadi, perjuangan kami untuk mempertahankan tanah adat dari perampasan tidak akan surut. Itu adalah ‘tona’ dari leluhur kami,” tegasnya.

 

Hendra Sinurat, kuasa hukum dari Tim Advokasi Masyarakat Adat Nusantara (TAMAN), dalam Nota Pembelaan menyatakan bahwa tuntutan Jaksa Penuntut Umum tidak memiliki dasar hukum yang kuat. “Dari fakta-fakta persidangan, tidak ditemukan bukti jelas bahwa Sorbatua melakukan pembakaran hutan atau menduduki kawasan hutan. Beliau hanya mengusahai wilayah adatnya sendiri,” ujar Hendra.

 

Hendra juga menambahkan bahwa proses hukum terhadap Sorbatua terkesan dipaksakan dan merupakan pelanggaran hak asasi. “Kami menduga ini adalah upaya membungkam terdakwa selaku pemangku masyarakat adat. Proses hukum ini diduga merupakan tindakan kriminalisasi oleh negara,” tegasnya.

Baca Juga :  Hindari Anak Jadi Korban Kekerasan Seksual, Satika Simamora : Mari Kita Ciptakan Lingkungan Lebih Aman

 

Di akhir pembacaan pembelaan, Sorbatua mengutip pepatah Batak yang bermakna keadilan bagi seluruh manusia: “Parhatian so tarajun, hu atas so ra mukkit, hu toru so ra monggal, ikkon si tikkos ni ari, si jujur ni ninggor.” Umpama Batak ini mengingatkan untuk berlaku adil di hadapan semua manusia. Petikan itu dibacakan Sorbatua Siallagan di akhir pembelaannya untuk semua yang berada di ruang persidangan.

 

Berliana Manik, istri Sorbatua, yang setia mendampingi setiap persidangan, menangis saat Sorbatua membacakan pembelaan. Berliana bersama komunitas adat lainnya harus berangkat subuh dari Dolok Parmonangan ke Pengadilan Negeri Simalungun, yang berjarak 20 KM, untuk mengikuti persidangan.

Masyarakat menuju Pengadilan Negeri Simalungun

Solidaritas dari komunitas masyarakat adat dan mahasiswa terlihat dalam setiap persidangan, dengan berbagai aksi teatrikal dan lagu-lagu penyemangat. Menjelang persidangan kemarin, masyarakat juga melakukan aksi tabur bunga di depan gedung kejaksaan dan Pengadilan Negeri Simalungun.

Baca Juga :  Gerak Cepat Polres Taput Tangkap 2 Orang Pelaku Penganiayaan Sangat Diapresiasi Keluarga Korban
Aksi Solidaritas Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat Adat.

Doni Munte, koordinator aksi, dalam orasinya menyatakan bahwa aksi tabur bunga adalah bentuk kekesalan dan kekecewaan masyarakat adat terhadap instansi di Kabupaten Simalungun, khususnya kejaksaan. “Kalian dibutakan oleh kepentingan perusahaan,” kata Doni. Dia juga menambahkan bahwa penetapan kawasan hutan berdasarkan Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 14 dan 15 tentang pengukuhan kawasan hutan di Indonesia, khususnya di Sumatera Utara, belum berkekuatan hukum yang tetap. Hingga saat ini, proses pengukuhan kawasan hutan dalam pasal 15 masih dalam proses penataan batasan kawasan hutan dan belum mencapai tahap penetapan kawasan hutan, sehingga belum berkekuatan hukum tetap. Namun, negara justru sudah membagi-bagi tanah tersebut kepada perusahaan, yang menyebabkan pejuang HAM dan lingkungan seperti Sorbatua Siallagan, kakek berumur 65 tahun, harus menghadapi tuntutan hukum. “Di mana hati nurani kalian? Dasar tolol dan dungu kalian,” kata Doni dengan kesal

Pos terkait