DPRD Samosir Mendukung Penutupan PT. TPL: “Kami Sepakat, PT TPL Harus Ditutup!”

Aksi Massa membawa berbagai poster menolak kehadiran PT. TPL di Tano Batak
banner 468x60

Samosir —Gelombang perlawanan terhadap PT Toba Pulp Lestari (TPL) terus membesar. Setelah DPRD Tapanuli Utara menyatakan dukungan penuh, kini giliran DPRD Samosir yang dengan lantang berdiri bersama rakyat: PT TPL harus angkat kaki dari Tano Batak.

Pernyataan itu disampaikan langsung oleh Ketua DPRD Samosir, Nasip Simbolon, dalam audiensi terbuka bersama Aliansi Gerakan Rakyat Tutup TPL (AGRT-TPL) pada 17 Juli 2025. Ratusan warga memadati halaman kantor dewan, membawa harapan dan amarah atas penderitaan panjang akibat keberadaan perusahaan itu.

“Kami, 25 anggota DPRD Samosir, seluruhnya mendukung perjuangan bapak-ibu sekalian. Kami sepakat: PT TPL harus segera ditutup!” tegas Nasip dengan suara bulat mewakili lembaga legislatif.

Bacaan Lainnya
Ketua DPRD mewakili lembaganya menyatakan sikap penolakan terhadap kehadiran PT. TPL di Kawasan Danau Toba.

Pernyataan itu bukan sekadar formalitas. Tetapi senagai tamparan keras kepada PT TPL, yang selama puluhan tahun meraup keuntungan di atas penderitaan rakyat dan kehancuran alam Tano Batak.

Wakil Ketua DPRD, Sarhocel Tamba, mempertegas bahwa sejak 2020 lembaganya telah menolak semua bentuk kerjasama dengan TPL, termasuk dana CSR.

Baca Juga :  Debit Air Sungai Kampar Mulai Menurun, Polres Pelalawan Pastikan Situasi Terkendali

“Kami mendukung langkah Bupati Samosir dan menolak CSR TPL. Jangan biarkan gaya lama Orde Baru memecah perjuangan rakyat. Sekarang saatnya bersatu, lawan kerakusan ini!” serunya lantang.

Dukungan moral juga datang dari suara kenabian. Praeses HKBP Distrik VII Samosir, Pdt. Rintalori Sianturi, tak segan menyebut TPL sebagai aktor utama perusakan ekologi Tano Batak.

“Yang paling merusak alam kita adalah PT TPL. Suara gereja dan rakyat harus bergema sampai ke pusat. Jangan biarkan anak cucu kita mewarisi tanah yang hancur karena kerakusan segelintir orang,” ucapnya tegas.

Sebelum melakukan aksi nya, massa aksi melakukan Doa Bersama di Depan Aula Gereja HKBP Pangururan.

Data tak bisa lagi ditutupi. Direktur KSPPM, Rocky Pasaribu, mengungkapkan bahwa 33.000 hektare konsesi TPL yang sebagian besar di Samosir berada di atas kawasan Hutan Lindung dan APL (Areal Penggunaan Lain)—yang berarti ilegal secara hukum.

“Penebangan masih terus terjadi bahkan sampai tahun lalu. Kami minta DPRD bentuk pansus, seperti di Taput dan Simalungun. Ini tidak bisa dibiarkan,” desaknya.

Rocky juga menyampaikan bahwa KLHK telah turun ke lapangan, namun hingga kini belum ada kejelasan. Ia menuntut agar DPRD terlibat langsung dalam pengawalan hasil temuan tersebut.

Dari AMAN Tano Batak, Jhontoni Tarihoran mengingatkan: selama izin TPL tak dicabut, Masyarakat Adat akan kesulitan mempertahankan hak atas tanah nya, mereka akan terus dipinggirkan dan dikorbankan. Jhontoni menyinggung komunitas adat Partukkot Naginjang di Tele yang wilayah adatnya sudah diakui 7.700 hektare oleh Pemkab Samosir, tetapi kini menghadapi siasat adu domba dari perusahaan.

Baca Juga :  Gereja dan Masyarakat Sipil Serukan Penutupan Permanen PT TPL: “Tanah Tapanuli Bukan untuk Dijarah"

“Ini menjadi momen penting. Setelah puluhan tahun rakyat bersuara tapi diabaikan, kini lembaga politik lokal berdiri bersama. Ketua DPRD tadi bilang sudah 25 tahun ikut mengamati perjuangan ini. Sekarang waktunya tidak hanya ikut, tapi berdiri di barisan terdepan,” ujarnya tajam.

Kerusakan lingkungan tak lagi bisa dibantah. Krisis air bersih kini melanda banyak desa di Kabupaten Samosir. Warga terpaksa membeli air karena sumber-sumber alami mengering.

 

“Ini bukan sekadar tuntutan administratif. Ini jalan pembebasan rakyat atas tanah airnya. Sekarang air pun sudah jadi barang langka di Samosir, dan TPL harus bertanggung jawab!” ujar tokoh masyarakat, Pahala Tua Simbolon.

Tokoh masyarakat menyampaikan keprihatinan kondisi Desa-desa di Kabupaten Samosir ketika musim kemarau tiba.

Ketua AGRT-TPL, Anggiat Sinaga, menyebut TPL sebagai simbol kolonialisme modern yang merampas tanah adat dan mengkriminalisasi rakyat.

“TPL adalah ancaman nyata bagi masa depan rakyat. Kami menuntut pencabutan seluruh izin, penghentian operasi, dan pengembalian tanah adat!” serunya penuh semangat.

Baca Juga :  Refleksi Perjalanan Masyarakat Adat Tano Batak Sepanjang 2024: AMAN Tano Batak Luncurkan Catatan ahir Tahun.

Anggiat menutup pernyataannya dengan komitmen gerakan:

“Perlawanan ini tak berhenti di sini. Kami akan bergerak dari desa ke desa, kabupaten ke kabupaten, sampai TPL benar-benar enyah dari tanah leluhur kami.”

Ketua Aliansi Gerakan Rakyat Tutup TPL Menyampaikan 7 (tujuh) Isi Tuntutannnya Ke DPRD Samosir

Tujuh Tuntutan Rakyat dalam Pernyataan Sikap AGRT-TPL:

1. Mendesak Bupati Samosir menyurati Menteri LHK untuk mencabut izin konsesi PT TPL.

2. Mendesak DPRD Samosir membentuk Pansus percepatan penutupan TPL.

3. Menghentikan seluruh aktivitas ekstraktif PT TPL di wilayah Samosir.

4. Menghentikan kriminalisasi terhadap masyarakat adat dan petani.

5. Mengembalikan tanah-tanah adat yang dirampas oleh TPL.

6. Mendesak pemerintah pusat segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat.

7. Mendesak Pemkab dan DPRD segera mengesahkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat di Samosir.

 

Usai audiensi dengan DPRD, massa melanjutkan aksinya ke Kantor Bupati Samosir. Di sana, perwakilan Pemerintah Kabupaten, melalui Asisten Bupati, menyampaikan bahwa pihaknya akan mempelajari secara serius seluruh tuntutan yang disampaikan.

“Pemerintah Kabupaten Samosir akan pelajari secara komprehensif seluruh tuntutan, dan akan mengambil sikap yang sejalan dengan DPRD. Ini membuka peluang kolaborasi positif antara eksekutif dan legislatif,” ujarnya.

Aksi Massa membawa berbagai poster menolak kehadiran PT. TPL di Tano Batak

Pernyataan ini membuka harapan baru. Setelah bertahun-tahun suara rakyat diabaikan, kini angin perubahan mulai berembus. DPRD sudah bersikap. Pemkab mulai membuka ruang. Tinggal keberanian politik dan konsistensi moral yang dibutuhkan untuk menutup lembaran kelam kolonialisme TPL di tanah Batak.

 

TPL kini semakin terkepung. Rakyat telah bersatu, dan suara mereka bergema sampai ke ruang-ruang kekuasaan. Tidak ada lagi tempat bagi perusak lingkungan dan perampas tanah adat di Kawasan Danau Toba.

Pos terkait