Simalungun- Sidang praperadilan yang diajukan oleh Thomson Ambarita bersama masyarakat adat Sihaporas terhadap Polres Simalungun terus berlangsung di Pengadilan Negeri Simalungun. Gugatan ini berfokus pada tindakan penangkapan, penggeledahan, penahanan, dan penetapan tersangka yang terjadi pada 22 Juli 2024, sekitar pukul 03.00 dini hari. Masyarakat adat Sihaporas berharap sidang ini dapat menguji keabsahan tindakan-tindakan tersebut yang dianggap melanggar prosedur.

Berdasarkan bukti-bukti yang diajukan, para pemohon menyoroti pelanggaran SOP, penggunaan kekerasan dalam penangkapan, serta kejanggalan dalam penetapan tersangka. Masyarakat adat Sihaporas berharap bukti-bukti tersebut akan menjadi dasar kuat bagi hakim untuk mengabulkan permohonan praperadilan ini. Namun, banyak pihak menduga bahwa permohonan ini akan ditolak, mengingat berbagai preseden yang meragukan integritas pengadilan.

Kekhawatiran ini semakin diperkuat oleh putusan pada 14 Agustus 2024, di mana Amang Sorbatua Siallagan, tokoh masyarakat adat, dinyatakan bersalah dalam kasus sebelumnya dan dijatuhi hukuman penjara dua tahun serta denda Rp 1 miliar. Meskipun Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak dapat menyajikan bukti yang kuat, putusan tersebut tetap dijatuhkan. Keputusan ini memicu pertanyaan tentang independensi pengadilan dalam menangani kasus-kasus yang melibatkan masyarakat adat.
Ketua Dewan AMAN Tano Batak, Roganda Simanjuntak, menyuarakan keprihatinannya. “Melihat bukti-bukti kuat yang diperlihatkan oleh kuasa hukum kepada hakim, seharusnya hakim memulihkan kepercayaan publik kepada para pencari keadilan lewat putusan yang adil. Bisa kita lihat sendiri respon publik ketika putusan majelis hakim PN Simalungun menjatuhkan vonis terhadap Sorbatua Siallagan. Publik sangat kecewa, walaupun sebenarnya ada satu hakim yang memiliki pendapat berbeda. Publik dengan harapan penuh agar hakim menerima praperadilan yang diajukan oleh Masyarakat Adat Sihaporas. Dengan demikian, tidak ada lagi kekhawatiran masyarakat adat atas perlakuan polisi yang sewenang-wenang,” ungkap Roganda Simanjuntak melalui pesan WhatsApp pada 16 Agustus 2024.

Kasus ini juga mengingatkan publik pada peristiwa tahun 2022, ketika Masyarakat Adat Sihaporas, melalui Thomson Ambarita, mengajukan praperadilan untuk menguji penghentian penyidikan dalam kasus penganiayaan dengan tersangka Bahara Sibuea. Meskipun bukti yang diajukan cukup kuat, hakim menolak praperadilan tersebut. Lebih mengkhawatirkan lagi, sidang praperadilan kali ini ditangani oleh hakim yang sama, menimbulkan kekhawatiran akan pengulangan ketidakadilan.
Masyarakat adat Sihaporas berharap kali ini keadilan bisa ditegakkan, mengingat bukti-bukti yang diajukan menunjukkan adanya pelanggaran serius oleh pihak kepolisian. Namun, mengingat sejarah penolakan praperadilan sebelumnya dan putusan terhadap Amang Sorbatua, banyak pihak mulai pesimis terhadap hasil sidang kali ini.

Sidang praperadilan ini akan menjadi ujian besar bagi integritas hukum di wilayah Simalungun, dengan publik menanti apakah keadilan akan ditegakkan atau kembali terabaikan.