SUMUT – Bayang-bayang krisis ekonomi mulai menghantui, Gelombang guncangan yang terasa di berbagai belahan dunia, mulai dari inflasi yang meroket, gejolak politik global, hingga perang dagang, menjadi sinyalemen kuat bahwa tahun 2025 bisa menjadi titik balik bagi ekonomi global, termasuk di Indonesia.
Dampaknya sudah mulai dirasakan oleh masyarakat. Harga kebutuhan pokok merangkak naik, daya beli menurun, dan lapangan pekerjaan semakin sulit didapat. Kecemasan dan ketidakpastian menghantui, membuat masyarakat tertekan dan mempertanyakan masa depan ekonomi mereka.
Geliat ekonomi yang lesu tengah mencengkeram masyarakat. Harga kebutuhan pokok meroket, sementara pendapatan stagnan bahkan tergerus inflasi. Orang tua berjibaku mencari nafkah, sementara anak-anak meringis menahan lapar. Apakah ini hanya sekadar gelombang pasang surut ekonomi, atau pertanda bahaya krisis ekonomi yang kembali menyapa seperti tahun 1963, 1998, dan 2020/2021…?
Perbandingan dengan krisis masa lalu memang perlu dilakukan. Tahun 1963, krisis ekonomi dipicu oleh inflasi tinggi dan ketidakstabilan politik. Tahun 1998, krisis moneter melanda, menghancurkan nilai mata uang dan memicu resesi. Tahun 2020/2021, pandemi COVID-19 melanda dunia, mengganggu rantai pasokan dan memicu krisis kesehatan yang berdampak pada ekonomi.
Situasi saat ini memang berbeda. Inflasi tinggi, namun belum mencapai titik kritis seperti tahun 1963. Gejolak politik global, namun tidak sekuat tahun 1998. Pandemi sudah terkendali, namun meninggalkan bekas luka pada ekonomi.
Namun, kita tidak bisa meremehkan sinyalemen yang ada. Ekonomi global masih rapuh, dihantui oleh perang dagang, konflik geopolitik, dan ketidakpastian kebijakan. Di dalam negeri, pertumbuhan ekonomi belum menunjukkan tanda-tanda pemulihan yang signifikan, sementara beban utang pemerintah terus meningkat.
Pemerintah harus segera mengambil langkah proaktif dan konkret untuk mengantisipasi krisis ekonomi 2025. Tidak hanya dengan kebijakan fiskal dan moneter, namun juga dengan strategi yang fokus pada peningkatan daya saing ekonomi nasional, diversifikasi sumber pendapatan, dan penguatan sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Selain itu, edukasi dan literasi ekonomi bagi masyarakat juga menjadi kunci penting. Masyarakat harus diajak untuk lebih bijak dalam mengatur keuangan, mengelola risiko, dan beradaptasi dengan kondisi ekonomi yang dinamis.
Apakah krisis ekonomi akan kembali menyapa….? Sangat mungkin. Namun, kita tidak perlu panik. Pemerintah dan masyarakat harus proaktif dalam mengantisipasi dan mengelola risiko.
Pemerintah perlu memperkuat fondasi ekonomi nasional, meningkatkan daya saing, dan meringankan beban masyarakat melalui program sosial dan bantuan ekonomi. Masyarakat perlu meningkatkan literasi keuangan, mencari peluang baru, dan bersiap menghadapi tantangan dengan teguh.
Di tengah ketidakpastian, optimisme tetap harus dijunjung tinggi. Dengan kesiapsiagaan dan sinergi yang kuat, kita dapat melewati masa sulit ini dan membangun ekonomi yang lebih resilient dan berdaya saing.
Kita harus bersiap menghadapi masa depan yang tidak pasti dengan kebijaksanaan dan kerjasama yang kuat. Masyarakat dan pemerintah harus bersinergi untuk mencegah krisis dan menciptakan ekonomi yang lebih kokoh dan berkelanjutan. (Abednego Manalu)
OPINI PUBLIK