Gereja dan Masyarakat Sipil Serukan Penutupan Permanen PT TPL: “Tanah Tapanuli Bukan untuk Dijarah”

banner 468x60

Toba, — Suara perlawanan terhadap PT Toba Pulp Lestari (TPL) kembali menggema dari jantung Tano Batak. Lebih dari 150 peserta dari berbagai elemen—pimpinan gereja, organisasi keumatan, Masyarakat Adat, petani, akademisi, dan aktivis—berkumpul dalam acara peluncuran buku “Jeritan Bona Pasogit” dan konsolidasi gerakan penolakan terhadap keberadaan PT TPL. Kegiatan ini difasilitasi oleh Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan United Evangelical Mission (UEM) di Hotel Serenauli, Laguboti. Senin, 14 Juli 2025.

Lebih dari sekadar peluncuran buku, acara ini menjadi ruang pengakuan luka ekologis, jeritan rakyat yang terampas haknya, dan suara gereja yang kini tak lagi tinggal diam.

Dalam sambutannya, Alfian, perwakilan PGI, menyatakan bahwa gereja tidak bisa lagi menutup mata terhadap krisis yang sedang terjadi di sekitar Danau Toba. “Ini bukan hanya soal lingkungan. Ini soal iman. Gereja terpanggil untuk berdiri bersama alam dan umat yang terluka,” tegasnya. Ia menjelaskan bahwa inisiatif ini lahir dari hasil kajian PGI yang menyimpulkan bahwa kerusakan ekologi di kawasan Danau Toba sudah pada titik mengkhawatirkan.

Bacaan Lainnya
Baca Juga :  Polsek Pangkalan Kerinci Gelar Pengamanan Pasar Tumpah Selama Bulan Ramadhan 1446 H

“Kami tidak menjadi pelaksana program, tapi pemantik keterlibatan kolektif. Gereja harus bicara, berdiri di garis depan bersama rakyat,” kata Alfian.

Buku Jeritan Bona Pasogit menjadi salah satu wujud nyata suara-suara dari akar rumput—perempuan adat, petani, hingga masyarakat yang tanahnya dirampas dan kehidupannya dikoyak oleh ekspansi industri HTI milik PT TPL. Salah satu penyusun buku, Robinsar Siregar, menyebut buku ini sebagai “cermin luka kolektif yang terlalu lama dibungkam.”

“Eksploitasi PT TPL telah menghancurkan ruang hidup, memicu konflik horizontal, dan merusak keseimbangan ekosistem. Tapi dari luka itu tumbuh perlawanan, terutama dari perempuan adat yang selama ini berdiri paling depan melawan ketidakadilan,” katanya.

Arie Rompas dari Greenpeace mempertegas skala kerusakan yang ditimbulkan. Ia menyebut TPL sebagai bagian dari jaringan gelap Royal Golden Eagle (RGE) milik Taipan Sukanto Tanoto, yang menggunakan berbagai entitas untuk menghindari akuntabilitas. “TPL bukan hanya membuat masalah  di Toba. Mereka juga mempunyai konsesi besar di Sumatra dan Kalimantan. Ini korporasi rakus yang tidak mengenal batas,” ungkapnya.

Baca Juga :  Polsek Teluk Meranti Laksanakan Binluh dan Penyebaran Maklumat Kapolda Riau untuk Cegah Karhutla

Seruan keras juga datang dari Pdt. Firman Sibarani. Dengan suara lantang, ia menyatakan: “Tanah ini bukan untuk dijarah, tapi diwariskan. Pemerintah harus berpihak pada rakyat, bukan korporasi. PT TPL harus ditutup!”

Senada dengan itu, Prof. Dr. Posma Sibuea menekankan pentingnya perubahan paradigma. “Kita butuh transformasi ekologi—berpindah dari model eksploitatif menuju penghormatan terhadap alam dan kehidupan.”

Fakta-fakta lapangan memperkuat desakan ini. Data dari Badan Lingkungan Hidup Sumatera Utara menunjukkan bahwa hanya 12 persen hutan asli di kawasan Danau Toba yang tersisa hingga 2010. Lahan kritis terus meluas, produktivitas pertanian menurun, dan krisis pangan mulai mengintai. Air Danau Toba juga tercemar, dan prevalensi stunting di komunitas sekitar meningkat tajam.

Puncak acara ditandai dengan pembacaan Pernyataan Sikap Pimpinan Gereja se-Sumatera Utara oleh Pastor Walden Sitanggang. Dengan nada tenang namun tajam, ia menegaskan bahwa kerusakan lingkungan akibat PT TPL bukan sekadar persoalan teknis, tapi persoalan iman dan keadilan.

Baca Juga :  Dedikasi Tinggi Bhabinkamtibmas Polsek Kerumutan Tempuh Jalan Berlumpur Sambangi Warga Binaan

“Ketika tanah dijarah, air dicemari, dan pohon-pohon ditebang demi keragusan kapitalis, maka ciptaan Tuhan sedang dihina. Gereja tidak boleh diam,” serunya.

Dalam pernyataan sikap yang dibacakan secara resmi, para pemimpin gereja menyatakan tiga tuntutan utama:

1. Memohon kepada Presiden RI, H. Prabowo Subianto, untuk menghentikan operasional PT Toba Pulp Lestari secara permanen.

2. Meminta pemerintah menjamin hak-hak buruh PT TPL, baik tetap maupun harian lepas, dipenuhi sesuai hukum.

3. Mendorong Gubernur Sumut, kepala daerah, dan DPRD di sekitar Danau Toba untuk bersama gereja dan masyarakat menuntut penutupan PT TPL.

Acara ini menjadi sinyal kuat bahwa desakan penutupan PT TPL bukan lagi hanya suara Masyarakat Adat atau aktivis lingkungan. Ini telah menjadi suara iman, suara kolektif, dan suara kemanusiaan. Suara dari Bonapasogit yang tak bisa lagi dibungkam.

 

(Red) 

Pos terkait