Simalungun, 20 Agustus 2024 — Pengadilan Negeri Simalungun kembali menjadi pusat perhatian dengan persidangan praperadilan kasus penculikan terhadap empat anggota masyarakat adat keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas yang memasuki tahap putusan. Praperadilan ini digelar untuk menentukan keabsahan penangkapan terhadap keempat masyarakat adat dari Buntu Pangaturan, Desa Sihaporas, Kecamatan Pamatang Sidamanik, yang dilakukan pada pukul 03.00 dini hari.
Sidang ini dipimpin oleh hakim tunggal Anggreana E. Roria Sormin, S.H., M.H., yang telah dikenal sebagai “langganan” dalam kasus-kasus konflik masyarakat adat di Simalungun. Hakim Anggreana sebelumnya juga memimpin dua kasus serupa, termasuk praperadilan yang diajukan oleh Thomson Ambarita pada tahun 2022 mengenai Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) oleh Polres Simalungun terhadap karyawan PT. TPL yang sudah ditetapkan sebagai tersangka. Dalam sidang tersebut, praperadilan ditolak. Hakim Anggreana juga menjadi anggota majelis hakim yang menjatuhkan vonis dua tahun penjara dan denda Rp1 miliar kepada Sorbatua Siallagan baru-baru ini.
Dalam sidang kali ini, hakim Anggreana kembali menolak praperadilan yang diajukan oleh Thomson Ambarita, Jonny Ambarita, Frando Tamba, dan Giovani Ambarita. Ia menyatakan bahwa penangkapan tanpa surat pemanggilan serta tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian sah sesuai dengan prosedur yang berlaku.
Kesaksian penting disampaikan oleh Dosmar Ambarita, salah satu saksi yang dibebaskan saat penangkapan. Ia mengungkapkan bahwa tidak ada pemberitahuan sebelumnya terkait penangkapan tersebut. Selain itu, para penculik tidak memberikan identitas, dan terjadi kekerasan serta perusakan terhadap sepeda motor milik masyarakat adat Sihaporas. “Kami dipukuli saat penculikan itu dan sepeda motor saya dirusak. Kemana saya harus menuntut?” ujarnya dengan nada kesal. Dosmar juga mengungkapkan kekhawatirannya saat melihat seorang perempuan dan anak-anak menjadi korban kekerasan dalam insiden tersebut.
Nurinda Napitu, istri Jonny Ambarita, bersama dua anaknya, Arjuna Ambarita (10 tahun) dan Betty Ambarita (9 tahun), juga menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian. Nurinda hadir dalam persidangan sebagai saksi dan menceritakan pengalaman traumatisnya.
Boy Raja Marpaung, kuasa hukum Thomson Ambarita dan kawan-kawan, menyampaikan kekecewaannya terhadap keputusan hakim yang tidak mempertimbangkan kesaksian Dosmar Ambarita yang telah dibebaskan oleh kepolisian. “Dengan dilepaskannya Dosmar Ambarita, sudah jelas bahwa tidak ada surat penangkapan yang sah. Kenapa bisa salah menangkap? Putusan ini juga menunjukkan bahwa pengadilan hari ini melegalkan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Padahal, Nurinda Napitu, sebagai korban kekerasan, telah hadir memberikan kesaksiannya tentang bagaimana ia diperlakukan, serta bagaimana anaknya yang masih trauma hingga saat ini. Namun, hal ini tidak menjadi pertimbangan oleh hakim,” ujar Boy.
Manggittua Ambarita, tokoh adat Sihaporas, juga mengungkapkan kekecewaannya setelah putusan sidang praperadilan. “Kami sangat kecewa melihat putusan hakim hari ini, walaupun sebelumnya sudah kami duga akan ditolak. Beberapa kali hakim ini di persidangan selalu mengabaikan fakta dan lebih memilih mengabulkan permohonan PT. TPL dan pihak kepolisian, walaupun sudah jelas-jelas melanggar SOP. Kami sangat kecewa, tidak ada lagi keadilan di Simalungun. Kami akan tetap berjuang demi tanah peninggalan leluhur kami dan tidak akan mundur satu langkah pun,” tegasnya.
Thomson Ambarita, Jonny Ambarita, Frando Tamba, Dosmar Ambarita, dan Giovani Ambarita diculik pada 22 Juli 2024, sekitar pukul 03.00 dini hari di Sihaporas saat tengah terlelap lalu sekitar 50-an orang tak dikenal tiba-tiba membangunkan mereka dengan cara memukul kaki para korban tersebut dengan kayu dan diborgol lalu dipululi. Masyarakat adat keturunan Ompu Mamontang Laut Sihaporas tidak mengetahui siapa yang menculik kelima anggota keluarga mereka dan ke mana mereka dibawa. Baru setelah pukul 14.00 WIB, melalui konferensi pers Polres Simalungun, diketahui bahwa mereka dibawa ke Polres Simalungun. Dosmar Ambarita akhirnya dibebaskan karena tidak terlibat dalam tindakan apapun dan hanya kebetulan berada di Sihaporas untuk menumpang tidur.
Praperadilan yang berlangsung maraton selama 7 hari itu diiringi oleh aksi dari komunitas masyarakat adat, mahasiswa, dan masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Gerak Tutup TPL. Setiap harinya, masyarakat adat Sihaporas harus bangun sekitar pukul 04.00 Subuh untuk mempersiapkan diri mengikuti persidangan. Perjalanan dari rumah warga menuju Pengadilan Simalungun memakan waktu sekitar 2 jam.