Jakarta, 2 September 2024 – Di tengah derai air mata, sejumlah ibu dari kawasan Danau Toba, Sumatera Utara, mencurahkan isi hati mereka kepada Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ai Maryati Solihah, pada Senin sore di Kantor KPAI, kawasan Gondangdia, Menteng, Jakarta. Dengan suara terbata-bata, mereka menceritakan kekerasan yang menimpa suami dan anak-anak mereka, yang diduga dilakukan oleh pihak PT Toba Pulp Lestari (TPL) dan oknum aparat kepolisian.
Perwakilan masyarakat adat berphoto didepan Gedung Komisi Perlindungan Anak (KPAI) sambil membentangkan spanduk bertuliskan ‘Bebaskan Sorbatua Siallagan dan 4 Orang Masyarakat Adat Sihaporas’.Dok, Risnan Ambarita
Salah seorang ibu, yang tidak mampu menahan emosinya, mengisahkan bagaimana dirinya diseret, diborgol, dan dipukuli tanpa ampun. Ia juga menyaksikan anaknya yang masih berusia 10 tahun diperlakukan kasar oleh orang tak dikenal. “Sadis sekali, Bu. Anak saya dipukuli, padahal dia masih kecil. Saya sampai tidak berani tinggal di rumah sendiri lagi karena takut,” ujarnya dengan suara gemetar.
Kekerasan dan Kriminalisasi Masyarakat Adat di Sihaporas
Kisah serupa datang dari Mersi Silalahi, istri Thomson Ambarita, salah satu korban kriminalisasi yang terjadi di Desa Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Mersi mengisahkan bahwa pada dini hari Senin, 22 Juli 2024, suaminya bersama empat warga lainnya ditangkap secara paksa oleh pihak kepolisian tanpa surat panggilan resmi. “Suami saya ditangkap pukul 03.00 dini hari. Sekitar 50-an orang tak kami kenali identitas nya tiba-tiba masuk kedalam rumah saat suami saya terlelap bersama dengan beberapa orang masyarakat adat Sihaporas, Tiba-tiba pelaku itu memukuli mereka dan menyetrum suami saya dengan listrik. Anak-anak juga korban kekerasan saat kejadian itu, dipiting dan diancaman” ungkapnya.
Thomson Ambarita bukanlah orang asing terhadap kekerasan semacam ini. Pada September 2019, dia bersama Jonny Ambarita pernah dipenjara karena kasus serupa, yang diyakini sebagai bentuk kriminalisasi oleh PT TPL. Persoalan ini berkaitan dengan konflik lahan yang melibatkan masyarakat adat Sihaporas dan PT TPL, di mana perusahaan kerap dituding memprovokasi konflik untuk menciptakan ketegangan antarwarga.
Konflik tersebut, menurut Mersi, tidak pernah diiringi dengan keadilan yang berpihak pada masyarakat adat. Setiap kali terjadi bentrokan, pihak kepolisian lebih sering menangkap warga dibandingkan pekerja perusahaan. “Kasus tahun 2019 dipicu oleh Bahara Sibuea, pekerja PT TPL. Sedangkan kasus-kasus di tahun 2022 dan 2024 diprovokasi oleh Sardi Samuel Sinaga, juga pekerja PT TPL,tetapi mereka tak pernah dihukum” jelasnya.
Kekerasan terhadap Anak-anak dan Dampak Psikologis yang Dirasakan
Sementara itu, Marta Manurung, yang mewakili Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan dari Desa Dolok Parmonangan, Kecamatan Dolok Panribuan, Kabupaten Simalungun, menceritakan kisah penculikan Sorbatua Siallagan, kakeknya yang berusia 65 tahun. Sorbatua diculik oleh orang tak dikenal pada 22 Maret 2024, saat sedang berbelanja pupuk pertanian. Setelah beberapa jam mencari, keluarga menemukan bahwa Sorbatua telah dibawa ke Polda Sumatera Utara, dan pada 14 Agustus 2024, ia divonis dua tahun penjara serta didenda Rp 1 miliar oleh Pengadilan Negeri Simalungun atas tuduhan menguasai tanah PT TPL dan membakar hutan. “Kami hanya bertani diatas tanah peninggalan leluhur kami, untuk menyambung hidup, tetapi diperlakukan demikian” Ungkap Marta
Menurut Jhontoni Tarihoran, Ketua Pengurus Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (PH AMAN) Wilayah Tano Batak yang mendampingi para korban, kekerasan ini telah mengakibatkan trauma mendalam bagi anak-anak di komunitas Sihaporas. “Mereka menangis menceritakan kisah yang dihadapi kepada Ketua KPAI. Tidak hanya karena ketakutan dan kesedihan, tetapi juga karena mereka merasakan beban berat dalam mempertahankan hak atas wilayah adatnya.” katanya.
Jhontoni mengungkapkan bahwa anak-anak yang melihat orang tua mereka diperlakukan dengan kasar, atau bahkan dipenjara, mengalami dampak psikologis yang signifikan. “Bayangkan, anak-anak yang biasanya diantar-jemput ke sekolah oleh ayahnya, kini harus menjalani kehidupan tanpa kehadiran orang tua karena dipenjara. Ini menciptakan jarak emosional yang besar antara anak dan orang tua mereka,” tambahnya.
KPAI Janji Tindaklanjuti dan Pulihkan Hak Anak
Merespons curahan hati para ibu tersebut, Ketua KPAI, Ai Maryati Solihah, menyatakan keprihatinannya dan berjanji akan segera menindaklanjuti laporan ini. “Kami sangat menyayangkan terjadinya kekerasan terhadap anak-anak. Sebagai langkah awal, KPAI akan mendata anak-anak di kampung yang terdampak dan merumuskan langkah-langkah untuk memulihkan hak anak, termasuk pemulihan mental akibat trauma yang mereka alami,” jelas Ai.Pertemuan warga dengan Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Dok, Risnan Ambarita
Perjuangan untuk Pengakuan Tanah Adat
Perjuangan para ibu dan masyarakat adat ini bukanlah hal baru. Mangitua Ambarita, Ketua Umum Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras), menegaskan bahwa tanah adat mereka sudah diakui sejak zaman penjajahan Belanda, dibuktikan dengan peta Enclave tahun 1916. Tanah tersebut telah dikelola oleh masyarakat adat Sihaporas selama 11 generasi, lebih dari 220 tahun, dengan berbagai tradisi adat yang kental.
Pengelolaan tanah dilakukan dengan ritual adat yang melibatkan doa dan upacara tradisional untuk menjaga kesuburan tanah dan keberhasilan panen. Tradisi ini mencakup serangkaian ritual mulai dari membuka lahan (manoto), menanam padi (manjuluk), hingga panen (sipahalima). Ritual-ritual ini mencerminkan hubungan mendalam antara masyarakat adat dengan tanah leluhur mereka, yang kini terancam oleh kehadiran PT TPL.
Dukungan Organisasi Masyarakat Sipil
Selama berada di Jakarta, para ibu-ibu korban kriminalisasi didampingi oleh Ketua PH AMAN Wilayah Tano Batak serta berbagai organisasi masyarakat sipil, termasuk Pengurus Besar AMAN, Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), Yayasan Forum Adil Sejahtera (YFAS), Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Indonesia (PBHI), Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), HuMa, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), dan PUSAKA.
Mereka berkomitmen untuk terus mendampingi masyarakat adat dalam mencari keadilan dan pengakuan atas tanah leluhur mereka, serta menuntut agar pemerintah segera mengakui dan mengembalikan tanah adat kepada komunitas yang berhak.
Dengan kisah pilu yang mereka bawa, para ibu ini berharap agar suara mereka didengar oleh pemerintah dan lembaga terkait, sehingga konflik ini bisa segera diselesaikan dan hak-hak mereka sebagai masyarakat adat segara diakui agar tidak timbul lagi konflik-konflik baru saat mereka mempertahankan tanahnya.
Penulis adalah salah satu Perwakilan Masyarakat Adat dari Sihaporas.