Medan- Ratusan massa yang tergabung dalam Koalisi Solidaritas Masyarakat Adat dan Masyarakat Sipil Sumatera Utara (SOMASI SUMUT) menggelar aksi di depan Pengadilan Tinggi Medan, mendesak hakim agar memberikan putusan yang objektif dan adil bagi Jonny Ambarita. Jonny, warga Lamtoras-Sihaporas, Kabupaten Simalungun, divonis bersalah atas tuduhan yang dianggap tidak pernah dilakukannya saat berjuang mempertahankan tanah leluhur dari konsesi PT Toba Pulp Lestari (TPL). Kamis 20 Februari 2025.
Koordinator aksi, Doni Munte, menegaskan bahwa demonstrasi ini bertujuan mengawal proses banding Jonny Ambarita di Pengadilan Tinggi Medan.
“Di Pengadilan Negeri Simalungun, hakim kembali menjatuhkan vonis bersalah kepada Masyarakat Adat atas perbuatan yang tidak pernah mereka lakukan. Saksi dan bukti di persidangan perkara tahun 2022 tidak menunjukkan bahwa Jonny Ambarita bersalah. Namun, majelis hakim tetap menyatakannya sebagai pelaku. Ini tidak bisa dibiarkan! Ketidakadilan terhadap masyarakat adat harus dilawan!” tegas Doni Munte.
Dalam aksi tersebut, Nurinda Napitu, istri Jonny Ambarita, turut menyampaikan permohonannya kepada hakim agar menegakkan keadilan.
“Pak Hakim, mohon tegakkan keadilan! Suami saya tidak bersalah. Ia dikriminalisasi demi membungkam perjuangan kami mempertahankan tanah adat sebagai sumber kehidupan,” ujar Nurinda dengan suara bergetar.
Nurinda juga mengungkapkan kronologi penangkapan suaminya yang dinilai tidak sesuai prosedur.
“Sejak awal, penangkapan itu sudah melanggar aturan. Saat itu pukul 03.00 WIB, kami sedang beristirahat. Tiba-tiba, sekitar 50 orang berpakaian preman mendobrak pintu rumah kami. Mereka langsung memukuli dan menyetrum suami saya. Saya pun mengalami kekerasan, bahkan anak kami yang masih berusia 10 tahun juga menjadi korban—dibentak dan dipiting. Mereka lalu menembakkan senjata dua kali ke atap rumah sebelum membawa suami saya serta empat rekannya ke dalam truk yang kami duga milik kontraktor PT TPL,” ungkapnya.
Kuasa hukum Jonny, Audo Sinaga dari TAMAN, menegaskan bahwa hakim tidak mempertimbangkan fakta persidangan secara objektif.
“Tuduhan bahwa Jonny Ambarita melakukan kekerasan terhadap barang dan orang hingga mengakibatkan luka tidak berdasar dan tidak pernah terjadi,” tegasnya.
Tim kuasa hukum berharap majelis hakim Pengadilan Tinggi Medan memeriksa perkara ini secara menyeluruh dan membebaskan Jonny Ambarita dari segala tuntutan.
“Bagaimana mungkin majelis hakim Pengadilan Negeri Simalungun memutus bersalah seseorang hanya berdasarkan keterangan satu orang saksi, sementara saksi lain menyatakan bahwa Jonny Ambarita tidak berada di lokasi kejadian? Ini bertentangan dengan Pasal 185 ayat 2 KUHAP,” ujar Audo Sinaga.
Massa aksi disambut oleh Syamsul Bahri, Hakim Pengadilan Tinggi (PT) Medan, yang menyatakan bahwa pihaknya akan mempelajari fakta persidangan sebelum memberikan putusan atas perkara banding Jonny Ambarita.
“Kami akan mempelajari fakta persidangan yang diajukan, dan kami akan memberikan keputusan yang seadil-adilnya terhadap perkara ini,” ujarnya.
Hakim tersebut juga mengungkapkan bahwa dirinya adalah Hakim Ketua yang beberapa bulan lalu memvonis bebas Sorbatua Siallagan. “Setelah melihat fakta di persidangan, kami memutuskan bahwa perkara itu ranah perdata, bukan pidana,” tambahnya.
Kronologi
Pada 16 Januari 2025, empat anggota masyarakat adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas divonis bersalah dan dijatuhi hukuman oleh Pengadilan Negeri Simalungun. Mereka adalah Thomson Ambarita, Parando Tamba, Giovani Ambarita, dan Jonny Ambarita, dengan putusan hukuman yang berbeda-beda.
Dalam perkara Nomor 376, Parando Tamba, Giovani Ambarita, dan Jonny Ambarita dinyatakan bersalah atas tindakan kekerasan yang mengakibatkan luka. Hakim menjatuhkan hukuman 1 tahun penjara bagi Parando Tamba dan Giovani Ambarita.
Sementara itu, dalam perkara Nomor 378, Jonny Ambarita dijatuhi hukuman 1 tahun 2 bulan penjara atas dakwaan melakukan kekerasan terhadap barang dan orang yang mengakibatkan luka. Adapun Thomson Ambarita, dalam perkara Nomor 377, divonis 1 tahun penjara dengan dakwaan serupa.
Dari keempat individu tersebut, Jonny Ambarita mengajukan banding atas putusan hakim dalam perkara Nomor 378. Kuasa hukumnya menegaskan bahwa hakim tidak mempertimbangkan fakta persidangan secara objektif.
Keempat pejuang adat Sihaporas ini sebelumnya ditangkap pada 22 Juli 2024 pukul 03.00 dini hari. Mereka mengalami kekerasan dari pihak kepolisian dan petugas keamanan PT TPL. Mereka sempat mengajukan gugatan praperadilan atas tindakan ini, namun Pengadilan Negeri Simalungun menolak gugatan tersebut, meskipun fakta persidangan menunjukkan adanya penggunaan kekerasan oleh aparat dalam proses penangkapan.
(Red)