Debat Pilkada Toba: Konflik Lahan Masyarakat Adat dengan PT TPL Jadi Sorotan Utama

Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Toba, dari kiri ke kanan: Poltak-Anugerah, Robinson-Tonny, Efendi-Murphy.
banner 468x60

Toba — Debat kandidat Pilkada Kabupaten Toba 2024 yang berlangsung pada 18 November 2024 menyoroti isu krusial pengakuan hak masyarakat adat dan konflik lahan dengan industri pulp. Ketiga pasangan calon, Poltak-Anugerah, Robinson-Tonny, dan Efendi-Murphy, memaparkan strategi mereka untuk menyelesaikan persoalan yang telah lama menjadi keluhan masyarakat adat di kawasan Danau Toba.

Berdasarkan data KSPPM Parapat dan AMAN Tano Batak, setidaknya 10 kasus konflik lahan adat terjadi di Kabupaten Toba selama lima tahun terakhir. Konflik tersebut mencakup sengketa atas 10.000 hektare wilayah, melibatkan persoalan hak tanah, pelestarian lingkungan, serta pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat yang belum sepenuhnya diakomodasi.

Paparan Strategi Kandidat

Pasangan Efendi-Murphy menegaskan komitmen mereka untuk mengatasi konflik ini melalui pendekatan hukum yang berpedoman pada Permendagri Nomor 52 Tahun 2014 dan Perda Nomor 01 Tahun 2020. Mereka merinci langkah-langkah konkret seperti identifikasi, verifikasi, hingga penetapan masyarakat hukum adat.

“Sejauh ini, kehadiran pemerintah sangat minim dalam menyelesaikan konflik ini. Jika kami terpilih, kami akan duduk bersama masyarakat dan para pemangku kepentingan untuk mencari solusi terbaik,” ujar Efendi. Ia juga mengkritik petahana yang dianggap tidak berhasil menyelesaikan masalah ini secara tuntas. “Jika anak buah tidak mampu menyelesaikan tugasnya, tanggung jawab ada di tangan pimpinan. Jangan biarkan masyarakat terus menunggu kejelasan,” tambahnya.

Baca Juga :  AMAN Desak Prabowo-Gibran Prioritaskan Hak Masyarakat Adat dalam Pemerintahan Baru

Sementara itu, pasangan petahana Poltak-Anugerah mengklaim telah memulai upaya pengakuan terhadap masyarakat adat pada 2022. “Namun, hingga kini belum ada masyarakat adat yang memenuhi kriteria berdasarkan hasil identifikasi dan verifikasi,” kata Poltak. Ia berjanji akan melanjutkan upaya ini dengan langkah yang lebih konkret jika terpilih kembali.

Di sisi lain, pasangan Robinson-Tonny menawarkan pendekatan berbasis akademis. “Kami akan melakukan kajian mendalam untuk memastikan penyelesaian konflik ini berjalan dengan tepat,” ujar Robinson, menekankan pentingnya solusi berbasis data yang komprehensif.

Tanggapan Masyarakat Adat

Debat ini disambut baik oleh para aktivis masyarakat adat. Ketua PHD AMAN Toba, Karto Pardosi, menyatakan apresiasinya atas perhatian yang diberikan para kandidat terhadap isu ini. “Kami berterima kasih atas perhatian mereka, tetapi harapannya ini bukan sekadar janji politik,” ujarnya.

Baca Juga :  Warga Dairi Bukan Tumbal Tambang: Masyarakat Di Sumatera Utara Desak MA Tegakkan Keadilan Untuk Keselamatan Rakyat

Hal senada diungkapkan Rocky Pasaribu dari KSPPM. “Debat ini memberikan harapan baru bagi masyarakat adat di Toba. Kami akan terus mengawal janji-janji yang telah disampaikan,” tegasnya.

Sebagai pemerhati masyarakat adat sekaligus Ketua Dewan AMAN Wilayah Tano Batak, Roganda Simanjuntak juga memberikan tanggapan. Ia menilai debat ini merupakan langkah awal yang baik, namun menegaskan bahwa penyelesaian konflik atas tanah adat membutuhkan sosok pemimpin daerah yang berpihak dan memiliki kemauan politik yang kuat.

“Permasalahan konflik lahan adat di Toba tidak hanya soal regulasi, tetapi juga keberpihakan dan keberanian eksekutif daerah untuk menerapkan kebijakan yang melindungi masyarakat adat. Kita tidak bisa hanya berhenti pada janji,” ujar Roganda. Ia menekankan bahwa pengakuan hak adat adalah bagian penting dari keadilan sosial di kawasan Danau Toba.

Roganda juga menambahkan, “Tentunya, ke depan siapapun yang terpilih menjadi Bupati dan Wakil Bupati Toba harus menyelesaikan konflik ini. Persebaran konflik atas tanah adat meliputi hampir seluruh wilayah Toba. Selain meningkatkan kesejahteraan masyarakat adat, adanya kepastian hukum atas hak wilayah adat juga akan membantu pemerintah daerah dalam melaksanakan pembangunan jika konflik ini bisa segera diselesaikan.”

Baca Juga :  Masyarakat Adat Sihaporas Peringati Kemerdekaan di Tengah Ancaman dan Kriminalisasi

Latar Belakang Konflik Lahan Adat

Konflik lahan adat di Kabupaten Toba telah berlangsung lama tanpa penyelesaian yang memadai. Pada 2022, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) membentuk tim verifikasi hutan adat dan melakukan kunjungan lapangan. Dari tujuh komunitas masyarakat adat yang diverifikasi, dua di antaranya dinyatakan layak untuk mendapatkan pengakuan hutan adat.

Namun, pengakuan itu terhambat karena kepala daerah saat itu tidak menerbitkan SK Pengakuan Masyarakat Hukum Adat. Akibatnya, KLHK hanya dapat memberikan SK Pencadangan Hutan Adat, tanpa pengakuan penuh terhadap masyarakat adat sebagai pemiliknya.

Debat Pilkada Toba kali ini diharapkan menjadi titik awal bagi calon pemimpin untuk membawa perubahan nyata. Masyarakat kini menanti langkah konkret dari pemimpin terpilih untuk memberikan keadilan, pengakuan, dan penyelesaian konflik yang telah lama membayangi mereka.

Pos terkait