Toba – Tim kuasa hukum dari Kantor Hukum Boy Raja P Marpaung, SH, MH & Rekan mendorong Polres Toba segera temukan pelaku pemerkosaan Elsa Simanjuntak, seorang perempuan penyandang disabilitas (autisme) berusia 30-an tahun. Kasus ini mencuat pada Oktober 2023, setelah ibunya, br. Pasaribu (60), mendapati Elsa hamil beberapa bulan.
Kronologi Kasus
Elsa tinggal bersama ibunya di Bor-Bor, Kabupaten Toba. Saat ditanya mengenai kehamilannya, Elsa menyebutkan nama seorang pria, si A. Informasi ini membuat ibunya meminta klarifikasi kepada tokoh adat setempat, yang kemudian memanggil si A untuk pertemuan. Namun, pertemuan itu tidak menghasilkan penyelesaian.
Si A, yang merasa namanya dicemarkan, melaporkan br. Pasaribu ke polisi atas tuduhan pencemaran nama baik. Di sisi lain, desakan dari beberapa pihak membuat br. Pasaribu melaporkan kasus pemerkosaan yang dialami Elsa ke Polres Toba. Hasil tes DNA membuktikan bahwa si A bukan pelaku, tetapi hingga kini Polres Toba belum menemukan siapa pelaku sesungguhnya.
Keadilan yang Belum Terwujud
Kasus ini membawa dampak berat bagi keluarga Elsa. Akibat laporan si A, br. Pasaribu kini menjadi terdakwa di Pengadilan Negeri Balige atas tuduhan pencemaran nama baik. Selain itu, Elsa dan ibunya menghadapi ancaman pengusiran dari desa karena dianggap mencemarkan nama baik kampung.
Ironisnya, ini bukan pertama kali Elsa menjadi korban. Sembilan tahun lalu, ia juga mengalami kekerasan seksual di desa yang sama. Kini, br. Pasaribu harus merawat Elsa dan bayinya seorang diri. Keadaan semakin sulit karena salah satu anak laki-lakinya terpaksa berhenti bekerja untuk membantu keluarga.
Seruan untuk Polres Toba
Tim kuasa hukum mendorong Polres Toba untuk segera menemukan pelaku pemerkosaan demi keadilan bagi Elsa, br. Pasaribu, dan si A, serta mencegah terjadinya korban baru di masa depan.
“Perlindungan hukum harus diberikan kepada korban,” tegas Boy Raja Marpaung. Ia menekankan bahwa kasus ini tidak hanya soal mencari keadilan bagi Elsa, tetapi juga menghapus stigma yang melekat pada korban dan keluarganya.
Keluarga Elsa berharap polisi bekerja lebih cepat dan profesional dalam menyelesaikan kasus ini. “Kami hanya ingin hidup tanpa rasa takut dan tekanan dari masyarakat,” ungkap br. Pasaribu.
Harapan dan Keprihatinan
Kasus ini mencerminkan perlunya penegakan hukum yang berpihak pada korban dan tindakan lebih tegas terhadap pelaku kekerasan seksual, khususnya terhadap penyandang disabilitas. Tekanan masyarakat dan ancaman terhadap keluarga korban menjadi pengingat bahwa stigma sosial juga memerlukan perhatian serius dalam penanganan kasus serupa.
(Red)