Simalungun – Lima warga Sihaporas diculik oleh pihak kepolisian Resort Simalungun pada Senin, 22 Juli 2024, pukul 03.00 WIB. Menanggapi kejadian ini, perwakilan anggota DPRD Simalungun menggelar audiensi dengan perwakilan Masyarakat Adat Sihaporas di ruang Komisi IV pada Jumat, 26 Juli 2024. Hadir dalam audiensi ini anggota DPRD Simalungun: Maraden Sinaga, Mariono (PDIP), Arifin Panjaitan, Junita Veronika Munthe, Walpiden Tampubolon (Demokrat), Tumpak Silitonga (Nasdem), dan Lisnawati Sirait (Perindo).
Maraden Sinaga, anggota DPRD Simalungun dari Daerah Pemilihan VI, yang mencakup Nagori/Desa Sihaporas, Kecamatan Pamatang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, menyayangkan tindakan represif yang dilakukan oleh aparat kepolisian dan menduga keterlibatan PT. Toba Pulp Lestari (TPL) dalam insiden ini.
Baren Ambarita, perwakilan Masyarakat Adat Sihaporas, menyampaikan bahwa penculikan tersebut merupakan tindakan represif tanpa adanya dialog, dan ini merupakan pelanggaran berat. “Kami mengadu ke DPRD Simalungun dan berharap persoalan ini bisa dibahas di Komisi III DPR RI. Benturan antara masyarakat adat Sihaporas dan pekerja PT. TPL menjadi latar belakang kejadian ini,” ungkap Baren melalui rilis pers pada 27 Juli 2024.
Baren juga menambahkan bahwa Masyarakat Adat LAMTORAS telah lama memperjuangkan hak-haknya atas tanah adat yang dikuasai PT. TPL sejak tahun 1998. “Tahun 2000 sudah ada rekomendasi dari DPRD Simalungun untuk menyelesaikan persoalan tanah adat ini, tetapi sampai sekarang belum ada keputusan. Kami meminta DPRD Simalungun untuk memproses persoalan ini agar kami bisa bekerja dengan nyaman di tanah adat kami,” tegasnya.
Lebih lanjut, Baren menjelaskan bahwa masyarakat adat Sihaporas sudah empat kali berurusan dengan hukum karena memperjuangkan tanah adat mereka. Pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tahun 2019 sudah merekomendasikan pembentukan tim identifikasi terhadap tanah adat di Sihaporas, namun tidak ada tindak lanjut dari Bupati Simalungun.
Mangitua Ambarita, tetua adat Sihaporas, menambahkan bahwa leluhur mereka telah ada di Sihaporas sejak tahun 1800-an, dengan bukti-bukti seperti batas kampung, bekas perkampungan lama, dan makam. Namun, lambatnya proses pemerintah dalam menangani masalah ini selalu memicu konflik.
Hengky Manalu, perwakilan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak, menyampaikan bahwa klaim sepihak pemerintah yang menjadikan tanah adat Sihaporas sebagai Hutan Negara dan memberikannya kepada PT. TPL tanpa melibatkan masyarakat adat merupakan bentuk diskriminasi. “Proses pengakuan hak masyarakat adat harus segera dipercepat agar ada kepastian hukum,” tegas Hengky.
Tumpak Silitonga dari Fraksi Nasdem menyatakan bahwa masalah ini perlu segera diselesaikan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan agar tidak berlarut-larut. Mariono dari Fraksi PDIP menyampaikan akan mendorong pembentukan Pansus untuk mendalami persoalan tanah adat Sihaporas dan meminta klarifikasi kepada Polres Simalungun terkait penangkapan yang tidak sesuai prosedur hukum.
Mersi Silalahi, istri Thomson Ambarita yang menjadi salah satu korban penangkapan, mengungkapkan bahwa kejadian ini menyisakan trauma bagi keluarganya. “Kami merasa takut karena masih banyak aparat intel yang berkeliaran di sekitar wilayah Sihaporas, dan ada drone yang selalu memantau kami saat berladang. Saya berharap DPRD Simalungun memberikan peringatan kepada Polres Simalungun dan Polsek Sidamanik agar tidak melakukan intimidasi lagi,” ujarnya.
Maraden Sinaga kembali menegaskan bahwa DPRD Simalungun akan mengingatkan kepolisian dan mengeluarkan rekomendasi kepada instansi pemerintah daerah serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk memperdalam persoalan ini. Tumpak Silitonga menambahkan pentingnya pemetaan yang jelas antara bagian masyarakat dan PT. TPL untuk menghindari persoalan lebih lanjut.
Berita ini ditulis melalui rilis Pers Aliansi Gerakan Rakyat Tutup TPL Yang diterima pada 27 Juli 2024.